Manajemen Prasangka

Zhon (prasangka) seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dalam sekelumit agenda yang melibatkan seorang aktivis. Terkadang bahkan sering, hal ini menjadi benturan tersendiri bagi para pelakunya. Pada titik tertentu zhon (prasangka) bisa menjadi hal yang bisa dimaklumkan, karena sebagai jama’ah yang didalamnya terdiri dari manusia-manusia tidaklah luput dari sifat keingintahuan lebih. Padahal secara manusiawainya, setiap ornag memiliki privasi yang terkadang tak harus diketahui banyak orang (secret). Akan tetapi, prasangka yang berlebihan akan menimbulkan kerusakan pada hati yang mengakibatkannya berkarat jika hal ini terus ditujukan pada keburukan. Prasangka buruk begitu marak terjadi dan membuat sebuah ketsiqahan itu menjadi semakin pudar, baik dalam tataran internal pun eksternal dan juga intrapersonal. Apabila prasangka yang dikedepankan adalah prasangka baik, maka itu akan lebih baik dan membuat setiap agenda murni atas dasar keIllahian. Prasangka, dalam hal ini prasangka buruk terhadapa sesama ikhwah sebenarnya bisa kita minimalisir dengan banyak cara. Dengan catatan, kita melakukannya atas dasar Lillah, bukan untuk menunjukkan dan menuju pada kepentingan pribadi atau personal.

Untuk memanajeman prasangka, hal yang bisa dilakukan pertama kali adalah ma’rifatul insan. Semakin kita ma’rifat terhadap saudara/i kita, maka kita akan bisa pahim dengan bagaimana cara dia berinteraksi dan bekerja dalam setiap agenda. Seorang qiyadah harus tahu bagaimana jundinya, pun dengan seorang jundi harus tahu bagaimana qiyadahnya, juga natara sesama jundi. Terkait tabiat dan prilaku masing-masing individu yang berbeda, maka iapun harus disikapi dengan cara berbeda yang paling elegan. Tidak akan berjalan baik, ketika hal ini hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Maka antara seorang qiyadah dan jundi harus tau adab ma’rifat antara mereka. Ada seorang yang prilakunya hanya sebagai konseptor yang kurang apik saat melakukannya ditataran kerja, ada juga yang biasa menjadi pekerja lapangan dan akan selalu mentok ketika dimintai untuk mengonsep, tapi ada juga seorang individu yang bisa memerankan keduanya dengan baik. Ketika kita sudah ma’rifat dengan saudara kita, prasangka-prasangka kurang baik atau menjurus pada keburukan bisa diminimalisir.

Bukan hanya dari segi itu, dari cara berinteraksi terhadap lingkungan juga butuh laku yang baik untuk memanajemen prasangka. Interaksi adalah bagaimana satu individu melakukan aktivitas yang melibatkan individu lainnya untuk mencapai satu titik pencapaian. Perbedaan cara berinteraksi sudah barang tentu harus diatur sedemikian rupa sehingga temponya menjadi begitu seragam. Interaksi yang baik akan menghasilkan prasangka-prasangka yang baik pula. Semisal ketika dalam rapat, bedanya gaya bahasa yang digunakan memang sering menjadi hambatan tersendiri bagi sesama ikhwah, entah itu sesama ikhwan, sesama akhwat, maupun antara keduanya. Ada yang lebh suka mengejewantahkan unek-uneknya di dalam tulisan, sehingga ia akan sering kehilangan fokus saat dimintai bicara dihadapan umum, dan pembicaraannya akan ternilai berbelit-belit. Ada juga yang memang doyan berbicara, mengurai retorika, memadumadankan gagasan, tetapi ketika dimintai untuk menulis ia justru menjadi seorang pasif.

Pun dalam hal berkomunikasi antara sesama ikhwah, hal ini menjadi salah satu manajeman prasangka berikutnya. Setiap ikhwah memiliki gaya komunikasi yang tidak bisa disamaratakan. Ada yang memang memiliki kecendrungan seorang provokator, biasa menjadi kompor atau pemanas, ada juga yang kalem pendiem dan lebih suka mengedepankan etika dengan alasan takut menyakiti yang lain, tetapi ada juga yang tidak termasuk kedua-duanya. Komunikasi yang sering dilakukan oleh ikhwah saat ini, tak jarang menjadi bahan pergunjingan yang lagi-lagi bisa menimbulkan prasangka. Komunikasi yang begitu mudah menjadi begitu dimudahkan hingga pada akhirnya menjurus pada sebuah pembuyaran tujuan maknawinya. Setiap agenda membutuhkan komunikasi yang efektif, dalam melakukan komunikasi yang efektif setiap orang memiliki kadar yang berbeda-beda. Pola komunikasi yang mumpuni akan sangat berpengaruh kepada bagaimana nantinya prasangka-prasangka itu mampu diendapakan atau justru dikedepankan. Namun dala hal komunikasi, kita harus tetap mengedepankan etika antara mashlat atau tidak.

Salah satu hal yang saat ini dengan maniak dan digemari dalam meminimalisir munculnya virus-virus prasangka adalah dilakukannya budaya konfirmasi. Konfirmasi dalam hal ini berbeda dengan ”menginfokan”, konfirmasi diartikan sebagai pemberitahuan sebelum hari ha. Sayangnya, kebanyakan dari kita juga termasuk saya. terkadang justru lebih sering menginfokan, sehingga konfirmasi yang diharapkan hanya membuat SKAKMAT si informant. Prasangka tadi justru tak jarang malah makin menjadi akbibat pemudahan-pemudahan yang dilakukan sesama ikhwah.

Hal yang paling penting dalam memanajeman prasangka adalah sikap kedisiplinan yang tinggi. Ketika semua ikhwah sudah disiplin, maka prasangka-prsasangka yang kedatangannya kadang tak diharapkan bisa diaibakkan jauh-jauh. Namun pada kenyataannya, kedisiplinan sekaring justru semakin pias dan pudar. Tak jarang kita lebih memilih untuk tidak disiplin diakibatkan terjebak pada kata senioritas. Tradisi senioritas tidak pernah salah itu tidak bisa menjadi pewajaran bagi seorang ikhwah. Karena semestinya justru seniorlah yang harus selalu merasa bersalah ketika jindunya lebih sering melakukan kesalahan. Disipilan adalah budaya seorang muslim karena kita diajarkan untuk berfastabiqul khairat. Tetapi lagi-lagi pilihan untuk tidak melakukannya lebih diminati dan digandrungi, entah darimana berakarnya.

Pemahaman tentang kata syar’i. Begitu banyak yang menjadikan dan membuat kata syar’i sebagai alasan, alasan yang akhirnya justru malah memudarkan pesona kesyar’ian itu sendiri. Masalah syar’i tidak syar’i memang sebenarnya yang mengetahui adalah kita si pelaku kegiatan. Maka dari itu disini dituntun untuk mengetahui bagaimana skala prioritas dari berbagai kegiatan ataupun aktivitas. Bukan hanya sekedar tahu, tapi paham masalah mendesak tidak mendesak, penting tidak penting, atau kegiatan yang nilainya ringan tetapi tetap membutuhkan kita. Kita tidak akan pernah mencapai titik ketsiqahan terhadap saudara kita, ketika kita tidak belajar untuk memanajemen prasangka. Ada kalanya terkadang sepinya aktivitas dakwah justru akibat begitu banyaknya prsangka buruk yang dilumat tanpa filterisasi terlebih dulu. Bukan hanya si berprasangka yang disalahkan dalam hal ini, tetapi juga si pembuat prasangka. Keduanya bisa saling mendhzalimi apabila terus-menerus melakukannya. Ada atau tidaknya kita dakwah ini memang akan tetap berjalan, namun siapa yang merugi ketika mengabaikannya?

Wuallahualam bisahawab..

5 thoughts on “Manajemen Prasangka

  1. alipdp

    masalah zhon itu pelik sebenernya, tapi kalo zhon itu adalah sebuah zhon rajih (asumsi/prasangka yg kuat), it’s ok untuk dilakuikan. memfirasati dgn kuat & dalam. variasi ilmiahnya ada dan kuat, maka tafadhol untuk berasumsi.
    sudah mewakili niat saya untuk nulis masalah budaya konfirmasi, bagus anak buah, bagus… 🙂

    Reply
  2. Pingback: Dari bukan penggemar kopi menjadi kolektor espresso cup | ambangbatas

Leave a reply to Oktaviana Miftakhuljanah Cancel reply